Berwudlu Dengan Lakban

wudhuDalam perjalanan dari Jawa Tengah ke Jkt, saya naik bis (kebetulan) kelas Eksekutif. Di sebelah saya duduklah orang yang mungkin 10 thn lbh tua dr saya. Pakaiannya ala pejuang Taliban Agfanistan gitu, mukanya serius, tatapannya tajam, jidatnya ada dua titik hitam sebesar uang logam 500 rupiah, jenggotnya yang jarang dibiarkan tumbuh panjang lebih lebat sedikit dibandingkan dengan jenggot kambing, dengan berbekal sedikit agak segan, saya mulai membuka pembicaraan, (Setelah diringkas tanpa mengurangi isi pembicaraan): Saya (S) Bapak sebelah (BS):

( S) : Mohon maaf Pak, Jakartanya di mana?”
(BS) :” Di ***************, Adik ke mana?”
(S) :” Depok Pak, ngomong2 sepertinya Bapak aktivis masjid ya?”
(BS) :” Iya Dik. Saya ikut kelompok taklim (pengajian agama) yang betul2 berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, tidak dilebih-lebihkan dan tidak dikurang-kurangi…” Continue reading

Gaptek Ilmu Nahwu, Ulama Wahabi Mati Kutu

Sayyid Ali Bafaqih langsung berkata: “Jangan sekali-kali tuan berani mengartikan Al-Qur’an dan Hadis Nabi jika tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan benar!”

Islam datang ke Bali yang mayoritas Hindu itu tampil dengan penuh toleransi dan kedamaian, sehingga masyarakat tidak terusik. Bahkan selama masa perjuangan kedua komunitas agama yang berbeda itu bahu membahu dalam melawan Belanda.

 Tetapi sejak tahun 1934, pulau Bali dijadikan target gerakan puritanisme yang dikomandoi oleh kelompok yang mengaku modernis Islam alias sekte wahabi / salafi. Beberapa tokoh wahabi dikirim dari Solo dan Banyuwangi untuk menancapkan pengaruhnya dengan cara menyerang habis-habisan tradisi Islam yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat. Slogan taklid buta, bid’ah, khurafat dan tahayyul pun mereka jadikan platform perjuangan. Continue reading

Dialog Di Tanah Suci

Kaaba-islam-172966_960_720Sidi ‘Alwi Al-Maliki
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang sangat populer dan kharismatik-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum Sunni.

Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem. Namun demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.

Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu.

Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.

Continue reading

Makalah : Menyingkap Interpretasi Sunnah dan Bid’ah dalam Konteks Amalan Salafussholeh

Pendahuluan

2013-05-23_210321Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam, Yang telah mengutus Nabi dan Rosul-Nya menjadi penunjuk jalan bagi semesta alam sesuai dengan fitrah dan karakteristiknya masing-masing agar menjadi makhluk yang paling mulia di sisi-Nya.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan ke Haribaan Nabi Muhammad saw, yang telah menyampaikan risalah dengan sempurna, terang, gamblang dan tak akan hilang. Sunnahnya menjadi pijakan bagi semua yang mengikutinya untuk dipraktikkan dalam kehidupannya menuju kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat.   

Sunnah dan bid’ah adalah dua kata yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. Masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.  

Karena itu banyak orang terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.

Imam Qurthubi bersumpah telah berjumpa dengan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam

Ketika Habib Mundzir mengatakan bahwa beliau tadi malam mimpi bertemu Rasulullah shallahu ‘alaihiwa sallam dan Nabi berkata kepada beliau “Jangan engkau katakan kepada tamu-tamuku itu ucapan-ucapan yang menyakiti perasaan mereka. Katakan ucapan yang lembut. Jangan engkau katakan sambil marah-marah didepan orang-orang yang hadir maulid, karena itu tamu-tamuku ! katakanlah pada mereka bahwa Muhammad mencintai mereka ! katakan Muhammad rindu pada mereka! katakan Muhammad menyayangi mereka !itu ucapan yang patut kau ucapkan di Maulid NabiMuhammad !"

Beliau mengucapkan itu di kediaman Habib Taufiq bin Abdul Qadir as-Seggaf Pasuruan, kira-kira di tahun 2000/2001, saat itu saya masih nyantri di sana dan kebetulan saya mendengar langsung ucapan beliau karena saya duduktepat di hadapan beliau. Hati saya ketika itu merasakan kebahagian yang sangat luar biasa mendapat kabar gembira dari Nabi melalui mimpi habib Mundzir al-Musawa.

Oleh sebagian kaum sufahaa (lemah akalnya/wahhabi-salafi) cerita ini dianggapnya khurafat dan dusta. Saya tak akan berpanjang lebar untuk menjelaskannya secara ilmiyyah berdasarkan al-Quran dan Hadits, namun saya langsung akan menampilkan bukti dari imam besar ahli tafsir, yang shaleh, zuhud dan wira’i, yang menjadi rujukan para ulama besar Ahlus sunnah, yaitu imam al-Qurthubi (578-656 H). Beliau dalam salah satu kitabnya BERSUMPAH pernah berjumpa kepada Nabi shallahu‘alaihi wa sallam secara sadar (bukan tidur) yang sebelumnya beliau mimpi terlebih dahulu. Berikut redaksinya dari kitab al-Mufhim karya beliau :

Continue reading

KEBOHONGAN WAHABI TENTANG TAHLILAN


WAHABI: “Mengapa Anda Tahlilan? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan?”

SUNNI: “Setahu saya, Imam al-Syafi’i tidak pernah melarang Tahlilan. Anda pasti berbohong dalam perkataan Anda tentang larangan Tahlilan oleh Imam al-Syafi’i.”

WAHABI: “Bukankah dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i telah diterangkan, bahwa selamatan selama tujuh hari kematian itu bid’ah yang makruh, dan beliau juga berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit?”

SUNNI: “Nah, terus di mana letaknya Imam al-Syafi’i melarang Tahlilan? Apakah seperti yang Anda jelaskan itu? Kalau seperti itu maksud Anda, berarti Anda membesar-besarkan persoalan yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. “

WAHABI: “Kenapa begitu?”

SUNNI: “Madzhab Syafi’i dan beberapa madzhab lain memang memakruhkan suguhan makanan oleh keluarga mayit kepada para pentakziyah. Hukum makruh, artinya kan boleh dikerjakan, hanya kalau ditinggalkan mendapatkan pahala. Kan begitu? Anda harus tahu, dalam beragama itu tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan yang makruh. Tetapi juga harus melihat situasi dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena itu, apabila adat istiadat masyarakat menuntut melakukan yang makruh itu, maka tetap harus dilakukan, demi menjaga kekompakan, kebersamaan dan kerukunan dengan masyarakat sesama Muslim.”

WAHABI: “Kalau begitu, Anda lebih tunduk kepada hukum adat dari pada hukum agama.”

SUNNI: “Sepertinya Anda belum mengerti maksud perkataan saya.”

WAHABI: “Kok justru saya dianggap tidak mengerti?”

SUNNI; “Memang begitu kenyataannya. Anda belum faham. Agar Anda dapat memahami dengan baik, sekarang saya bertanya kepada Anda. Madzhab apa yang diikuti oleh kaum Wahabi di Saudi Arabia dalam bidang fiqih? “

WAHABI: “Yang jelas Madzhab Hanbali.”

SUNNI: “Bagus kalau begitu, Anda sedikit mengerti. Begini, di antara kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama madzhab Hanbali, adalah kitab al-Adab al-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih al-Maqdisi. Kitab ini diterbitkan oleh pemerintahan Saudi Arabia, dan didistribusikan secara gratis kepada umat Islam. Dalam kitab tersebut terdapat keterangan begini;

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)

“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47). 

Dalam pernyataan di atas jelas sekali, tidak baik meninggalkan tradisi masyarakat selama tradisi tersebut tidak haram. Suguhan makanan kepada pentakziyah itu hanya makruh, tidak haram. Karena hal itu sudah mentradisi, ya kita ikuti saja. Kata pepatah Arab, tarkul-‘adah ‘adawah (meninggalkan adat istiadat dapat menimbulkan permusuhan).”

WAHABI: “Tapi kan lebih baik tidak perlu suguhan makanan, agar tidak makruh.”

SUNNI: “Anda keras kepala. Tidak mengerti pembicaraan orang. Coba Anda pahami perkataan Ibnu Aqil dalam al-Funun di atas. Di antara dasar mengapa, kita dianjurkan mengikuti tradisi selama tidak haram, adalah hadits yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوْا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَلَا تَرُدُّهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَفَعَلْتُ. (رواه البخاري ومسلم)

“Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Apakah kamu tidak tahu, bahwa ketika kaummu membangun Ka’bah, tidak sempurna pada pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah tidak engkau kembalikan Ka’bah kepada pondasi Nabi Ibrahim?” Beliau menjawab: “Seandainya bukan karena kaummu baru meninggalkan kekufuran, pasti aku lakukan.” HR al-Bukhari dan Muslim.

Dalam hadits di atas dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW tidak merekonstruksi Ka’bah agar sesuai dengan Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS, hanya karena khawatir menimbulkan fitnah, karena kaumnya baru meninggalkan masa-masa Jahiliyah. Sampai sekarang Ka’bah yang ada, lebih kecil dari Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Ka’bah saja, yang merupakan kiblat umat Islam dalam menunaikan shalat dan ibadah haji, dibiarkan oleh Rasulullah SAW, karena alasan tradisi, apalagi masalah kenduri tujuh hari, yang hukumnya hanya makruh. Persoalan Ka’bah jelas lebih besar dari selamatan Tahlilan.”

WAHABI: “Tapi dengan adanya selamatan selama tujuh hari, itu berarti meninggalkan Sunnah atau melakukan makruh yang disepakati.”

SUNNI: “Siapa bilang selamatan tujuh hari itu makruh yang disepakati? Dalam masalah ini masih terdapat beberapa pendapat. Berikut rinciannya:

Tidak semua kaum salaf memakruhkan hidangan makanan yang dibuat oleh keluarga si mati untuk orang-orang yang berta’ziyah. Dalam masalah ini ada khilafiyah di kalangan mereka. Pandangan-pandangan tersebut antara lain sebagai berikut ini:

Pertama, riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi mereka yang berta’ziyah. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan:

عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُول اللَّه صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاس أَيْدِيَهُم فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأَويل قَوله.

“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata: “Wahai manusia, dulu Rasulullah SAW meninggal, lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk dimakan. Aku baru mengerti maksud pernyataan Umar tersebut.” 

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328 dan al-Hafizh al-Bushiri, dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah, juz 3 hal. 289. 

Kedua, riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.

“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).

Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.

Ketiga, tradisi kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:

عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.

“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”

Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).

Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.

Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.

Keempat, pendapat Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:

يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.

“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).

Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.

Nah, dengan demikian, hukum suguhan makanan sebenarnya masih diperselisihkan di kalangan ulama. Kalau Anda kaum Wahabi terus memerangi suguhan makanan dalam acara tujuh hari, justru Anda yang melanggar hukum agama.”

WAHABI: “Kok justru kami yang melanggar hukum agama?”

SUNNI: “Ya betul. Dalam kaedah fiqih disebutkan, laa yunkaru al-mukhlatafu fiih wa innamaa yunkaru al-mujma’u ‘alaih (tidak boleh mengingkari hukum yang diperselisihkan di kalangan ulama. Akan tetapi hanya hukum yang disepakati para ulama yang harus diprotes/ditolak).”

WAHABI: “Lalu bagaimana dengan pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit? Bukankah Imam al-Syafi’i melarang?”

SUNNI: “Imam al-Syafi’i tidak melarang apalagi mengharamkan. Beliau hanya berpendapat bahwa pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an menurut beliau tidak sampai. Sementara menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal, dikatakan sampai. Banyak juga pengikut madzhab Syafi’i yang berpendapat sampai. Sedangkan pengiriman hadiah pahala selain al-Qur’an seperti sedekah, istighfar, shalawat, tahlil dan tasbih, semua ulama sepakat sampai. Jadi masalah ini persoalan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.

Dan perlu Anda ketahui, bahwa meskipun Imam al-Syafi’i berpendapat tidak sampai tentang pahala al-Qur’an, beliau menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan seseorang, agar mendapatkan barokahnya bacaan al-Qur’an. Anda harus tahu masalah ini.”

WAHABI: “Mengapa kalian tidak konsisten dengan madzhab Syafi’i, dan tidak usah Tahlilan?”

SUNNI: “Anda benar-benar bodoh. Imam al-Syafi’i tidak melarang Tahlilan. Sudah saya katakan berkali-kali. Dan anda juga bodoh, bahwa dalam bermadzhab, tidak berarti harus mengikuti semua pendapat Imam Madzhab secara keseluruhan. Tetapi mengikuti pendapat Imam Madzhab yang kuat dalilnya. Dalam madzhab Syafi’i ada kaedah, apabila pendapat lama Imam al-Syafi’i (Qaul Qadim) bertentangan dengan pendapatnya yang baru (Qaul Jadid), maka yang diikuti adalah Qaul Jadid. Hanya dalam 12 masalah, para ulama mengikuti Qaul Jadid, karena dalilnya lebih kuat. Anda ini lucu, katanya tidak taklid kepada ulama, semata-mata mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, tapi Anda memaksa kami meninggalkan Tahlilan, dengan alasan Imam kami melarang Tahlilan.”

WAHABI: “Menurut salah seorang ustadz kami (Firanda), riwayat dari Khalifah Umar, tentang suguhan makanan oleh keluarganya kepada para pentakziyah, adalah dha’if. Mengapa Anda sampaikan?”

SUNNI: “Kami pengikut ahli hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan pengikut Wahabi seperti Anda. Coba Anda perhatikan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal:

إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الحلال والحرام والسنن والأحكام تشددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد

Dalam pernyataan tersebut, yang diperketat dalam penerimaan riwayat itu, kalau berupa hadits dari Rasulullah SAW. Berarti kalau bukan hadits Nabi SAW, seperti atsar Khalifah Umar, tidak perlu diperketat. Tolong Anda fahami dengan baik. Anda tahu Syaikh al-Albani?”

WAHABI: “Ya, kami tahu. Menurut kami beliau ulama besar dalam bidang hadits. Kenapa dengan Syaikh al-Albani?”

SUNNI: “Al-Albani mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebagian kitabnya:

لا ينبغي لفقيه أن يحمل الناس على مذهبه

“Tidak sebaiknya bagi seorang ahli fiqih, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya.”

Jadi kalau Anda mengakui al-Albani sebagai panutan Wahabi, Anda tidak perlu memaksa umat Islam yang memang bermadzhab Syafi’i, untuk mengikuti ajaran Wahabi yang Anda ikuti.”

Wallahu a’lam.

 

Sumber

Penjelasan Lengkap Allah Ada Tanpa Tempat & Tanpa Arah


Judul asli:

“Ghâyah al-Bayân Fî Tanzîh Allâh ‘An al-Jihah Wa al-Makân”

 

Penjelasan Lengkap Allah Ada Tanpa Tempat & Tanpa Arah dalam Berbagai Karya Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah Lintas Masa Dan Generasi

 

Terjemah oleh: Kholil Abu Fateh, MA.

 

 

Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm

Segala puji bagi Allah, shalawat dansalam atas makhluk paling mulia; Muhammad, juga atas seluruh keluarganya yangsuci, serta segenap sahabatnya yang mulia.

 

 

Sesungguhnyailmumengenal Allah dan mengenal sifat-sifat-Nya adalah ilmu paling agung dan palingutama, serta paling wajib untuk didahulukan mempelajarinya atas seluruh ilmulainnya, karena pengetahuan terhadap ilmu ini merupakan pondasi bagi keselamatandan kebahagiaan hakiki,yang oleh karena itu ilmu Tauhid ini dikenal juga dengannama Ilmu Ushul(pondasi agama). 

 

 

Dan Sesungguhnya seluruh ulama Damaskus,Halab (Aleppo), Himsh dan semua penjuru daratan Syam (Siria), Lebanon,Yordania, Palestina, India, Pakistan, Malaysia, Indonesia, Irak, Turki, wilayahselatan benua Afrika, Yaman, dan bahkan di seluruh negara Islam; mereka semuaberada di atas keyakinan yang sama dalam mensucikan Allah dari tempat dan arahserta sifat-sifat benda. Ini adalah keyakinan Salaf saleh dan orang-orang yangmengikuti mereka hingga masa kita sekarang ini, hanya saja pada abad 12hijriyah ada orang bernama “Muhammad bin Abdul Wahhab”; seorang yang tidakmemiliki ilmu cukup, menyebarkan keyakinan yang menyalahi mayoritas umat Islam,memecah belah mereka, datang membawa faham yang ia buat sendiri, lalu iamenyangka bahwa dakwahnya itu didasarkan kepada al-Qur’an dan hadits. 

 

Beberapafaham sesat Ibnu Taimiyah ia hidupkan kembali, di antaranya; mengharamkantawassul dengan Rasulullah, mengharamkan perjalanan untuk tujuan ziarah kemakam Rasulullah, mengharamkan datang ke makam orang-orang saleh untuk tujuanberdoa meminta kepada Allah di sana, mengkafirkan orang yang berkata: “Yâ Rasulallâh…”,”Yâ Muhammad…”, “Yâ ‘Ali…”,”Yâ Abdal Qâdiral-Jîlâni… tolonglah saya”; kecuali kepada orang yang masih hidup, mengharamkanperingatan maulid Nabi sekalipun di dalamnya tidak ada perbuatan munkar(maksiat) karena -menurut mereka- peringatan semacam ini menyerupai keyakinanorang-orang Yahudi. Herannya, para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab ini,-atau yang disebut oleh mereka sendiri sebagai golongan Wahhabiyyah, dan atauSalafiyyah-, membuat peringatan besar dan meriah untuk merayakan perjalananhidup pimpinan mereka; Muhammad bin Abdul Wahhab, dengan tema: “Pekan Muhammadbin Abdul Wahhab” (Usbû’ Muhammad ibn ‘Abdil Wahhâb).  

 

Jika anda ingin mengenal lebih jauhsepakterjang kaum Wahhabiyyah ini silahkan membaca pasal “Fitnah al-Wahhâbiyyah” darikitab Tarikh yang ditulis oleh Asy-Syaikh Ahmad Zaini Dahlan;mufti Mekah pada masa akhir Khilafah Utsmaniyyah Turki.

 

Dalam kitab ini, kita kumpulkandalil-dalil jelas dari al-Qur’an, hadits, dan Ijma’ umat Islam, sertapernyataan ulama terkemuka dari empat madzhab, di tulis dalam beberapa bab; babsatu definisi tempat dan arah, bab dua dalil kesucian Allah dari tempat danarah dalam al-Qur’an, bab tiga dalil kesucian Allah dari tempat dan arah dalam hadits,bab empat dalil kesucian Allah dari tempat dan arah dalam ijma’, bab lima dalilakal kesucian Allah dari tempat dan arah, bab enam penjelasan bahwa di atasarsy terdapat tempat dalam tinjaun syari’at dan akal, bab tujuh hukum orangyang menetapkan tempat bagi Allah, bab delapan pernyataan ulama empat madzhabdan lainnya dalam ketetapan akidah Ahlussunnah: “Allah ada tanpa tempat danarah”, bab sembilan penjelasan tidak boleh dikatakan “Allah ada di setiaptempat”, dan bab sepuluh penjelasan bahwa langit kiblat doa.

 

Download Segera Ebook PDF ini! gratis!!

Klik : DOWNLOAD

atau http://www.ahlussunnah.org/ebook/PenjelasanAllahAdaTanpaTempat.pdf

Format: PDF

Ukuran: 4MB

 

Kunjungi page fb AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT dan bloghttp://allahadatanpatempat.blogspot.com

 

By Luqman Firmansyah M.Kub

Bantahan Untuk Nasiruddin Al-Albani

 
 

الألباني يمنع سنة الجمعة القبلية قبل الجمعة و بعد الأذان بحجة أنها بدعة

Al-Albaniy Melarang Shalat Sunnah Qobliyah Jum’at Sebelum Jum’at Setelah Adzan dengan Alasan Itu adalah Bid’ah

 
 

 
 

Dalam masalah ini Al-Albaniy menentang hadits-hadits sohih, hingga dia melarang shalat sebelum Jum’at dengan argumen yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah bid’ah dan sungguh bertentangan dengan as-Sunnah. Dia telah berkata:

“Sesungguhnya shalat yang dimaksud antara adzan yang disyariatkan dan adzan yang dibuat-buat, yang mereka beri nama shalat sunnah Jum’at qobliyah tidak ada dasarnya dalam as- Sunnah dan tidak seorang pun dari para sahabat dan para imam yang mengatakannya” (Lihat kitabnya yang diberi nama Al-Ajwibah An-Nafi’ah halaman 41).

 
 

Jawaban:

Jawaban:

Al-Hafizh Zainuddin Al-Iroqiy dalam Syarah At-Tirmidziy telah menyebutkan, sesungguhnya Al-Khul’iy meriwayatkan dalam fawaidnya dari Ali bin Abu Tholib r.a.,

“Bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah shalat sebelum Jum’at empat rakaat dan sesudahnya empat rakaat”. Sanadnya bagus sebagaimana yang telah disebutkan oleh Waliyuddin Al-Iroqiy (Lihat Thorhu At-Tastriib fii Syarhi At Taqriib, 3/42).

 
 

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam “Talkhishu Al-Habiir” berkata: “Faedah dalam (masalah shalat) sunnah Jum’at yang sebelumnya Ar- Rofi’iy tidak menyebutkan hadits. Hadits yang paling sohih dalam masalah ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah (Talkhishu Al-Hobiir, 2/74) dari Daud bin Rosyid dari Hafshin bin Ghiyast dari Al-A’mas dari Abu Soleh dari Abu Hurairoh dari Abu Sofyan dari Jabir. Mereka berdua berkata, “Telah datang Sulaik Al-Ghotofani sedangkan Rasulullah s.a.w. dalam keadaan berkhotbah kemudian beliau bersabda kepadanya:

أصلّيت ركعتين قبل أن تجيء؟

“Apakah kamu sudah shalat sebelum kamu datang?”

 
 

 
 

Dia berkata, “Tidak”. Beliau bersabda:

فصلّ ركعتين وتجوّز فيهما

“Maka shalatlah dua rakaat dan lakukanlah dengan ringan”.

 
 

Al-Majdu Ibnu Taimiyah dalam Al-Muntaqo berkata: sabda Rasulullah “sebelum kamu datang” adalah dalil bahwa sesungguhnya 2 rakaat itu adalah (shalat) sunnah Jum’at yang sebelumnya bukan (shalat) tahiyyatul masjid.

 
 

Al-Maziyu mengomentarinya, bahwa sesungguhnya yang betul:

أصلّيت ركعتين قبل أن تجليس؟

“Apakah kamu sudah shalat sebelum kamu duduk ? ”

 
 

Maka sebagian perawi berpendapat, dia salah membacanya. Dalam riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas disebutkan: “Nabi s.a.w. pernah shalat sebelum Jum’at 4 rakaat, di antara 4 rakaat itu beliau tidak memisahkannya dengan sesuatu apapun”, sanadnya sangat lemah. Dalam bab yang sama, dari Ibnu Mas’ud dan Ali r.a. dari riwayat Ath-Thobroniy dalam “Al-Ausath”. .

 
 

Al-Hafizh Waliyuddin Al-Iroqiy berkata tentang hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairoh r.a.: “Ibnu Majah telah meriwayatkannya dalam sunannya dengan sanad yang sohih” (Lihat Thorhu At-Tastriib fii Syarhi At Taqriib, 3/42).

 
 

Dia berkata dari hadits Jabir yang telah diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah : “Ayahku berkata (yakni Al-Hafizh Abdurrohim Al-Iroqiy) semoga Allah merahmatinya, berkata dalam syarah At-Tirmidziy: Dan sanadnya sohih”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathu al-Bariy, 2/426: “Dalam masalah shalat sunnah Jum’at sebelum Jum’at, sebelum ada beberapa hadits dho’if yang lainnya, yang diriwayatkan di antaranya dari Abu Hurairoh, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan lafal:

كان يصلّي قبل الجمعة ركعتين وبعدها أربعا 

 
 

“Nabi s.a.w. pernah shalat sebelum Jum’at dua rokaat dan sesudahnya 4 rakaat”.

 
 

Dalam sanad hadits ini ada kedhoifan”. Kemudian dia berkata:

“Dari Ibnu Mas’ud juga At-Thobroniy meriwayatkan seperti itu. Pada sanadnya ada kedhoifan dan inqitho’ (di salah satu celah sanadnya ada salah seorang perawinya selain sahabat yang gugur atau tidak disebut), Abdurrozzak meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud secara mauquf (hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat tidak sampai kepada Rasulullah), dan ini yang benar. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Shofiyah istri Nabi s.a.w., meriwayatkan secara mauquf seperti hadits Abu hurairoh.” (Fathu Al Bariy, 2/426)

 
 

Hadits Ibnu Mas’ud yang mauquf telah diriwayatkan oleh Abdurrozzak dalam karangannya dari Ma’mar, dari Qotadah: “Bahwa sesungguhnya Ibnu Mas’ud r.a. pernah shalat sebelum Jum’at 4 rakaat dan sesudahnya 4 rakaat” (Mushonnaf Abdurrozak, 3/247). Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkishu Al-Habiir, 2/74 mengatakan hadits ini sohih. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 1/463 telah meriwayatkan bahwa sesungguhnya Ibnu Mas’ud telah shalat sebelum Jum’at 4 rakaat. Abdurrozzak juga meriwayatkan bahwa sesungguhnya Ibnu Mas’ud pernah memerintahkan untuk shalat 4 rakaat sebelum Jum’at (Lihat Mushonnaf Abdurrazak, 2/427). Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Ad-Diroyah fii takhriiji Ahadiitsi Al-Hidayah hal. 218 berkata: “Para perawinya tsiqoot”.

 
 

Abu Daud, Ibnu Hibban dan selain mereka meriwayatkan dari Nafi’ dia berkata: “Ibnu Umar pernah memperpanjang shalat sebelum Jum’at dan shalat 2 rakaat sesudahnya di rumahnya. Dia menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melakukan hal itu”. (HR. Abu Daud dalam susunannya: kitab sholat bab shalat setelah Jum’at, Ibnu Hibban dalam shohihnya, Al-Ihsan 4/84 dan Ibn Khuzaimah dalam shohihnya 3/168, serta Ahmad dalam musnadnya, 2/103).

 
 

Ibnu Sa’ad dalam “Ath-Thobaqoot” 4/491 telah meriwayatkan dari Yazid bin Harun dari Hammad bin Salamah dari Shoofiyah, dia telah mendengar darinya dan berkata, “Saya telah melihat Shofiyah binti Haiyiy shalat 4 rakaat sebelum keluarnya Imam dan dia shalat Jum’at bersama dengan Imam dua rokaat”.

 
 

 
 

Ibnu Abi Syaibah  telah meriwayatkan dari Abu Majaz, bahwa

sesungguhnya dia pernah shalat di rumahnya 2 rakaat pada hari Jum’at. Dari Abdulloh bin Thowus dari ayahnya sesungguhnya dia tidak datang ke masjid pada hari Jum’at hingga shalat di rumahnya 2 rakaat. Dari Al-A’masy dari Ibrohim, dia berkata, “Mereka telah shalat sebelum Jum’at 4 rakaat”, (Mushonnaf Ibnu Syaibah, 1/463).

 
 

Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah shalat sebelum dhuhur 2 rakaat dan sesudahnya 2 rakaat, setelah maghrib 2 rakaat di rumahnya, setelah isya’ 2 rakaat dan beliau pernah tidak shalat setelah Jum’at hingga pulang, kemudian shalat 2 rakaat” (HR. Bukhori dalam shohihnya di bawah bab shalat setelah Jum’at dan sebelumnya)

 
 

 Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (dalam Fathu Al Bariy 2/426):

“Dia tidak menyebutkan sesuatu apapun dalam masalah shalat sebelumnya, yakni sebelum Jum’at. Ibnu Al-Munir berkata dalam Al-Hasyiyah, seakan-akan dia berkata, pada asalnya antara dhuhur dan Jum’at adalah sama. Sehingga ada dalil yang menunjukkan atas yang kebalikannya karena sesungguhnya itu adalah pengganti dhuhur. Dia berkata bahwa perhatiannya dengan hukum shalat setelah Jum’at lebih banyak. Oleh sebab itu dia menyuguhkannya dalam keterangannya yang berbeda dengan kebiasaan dalam mengedepankan qobliyah dan ba’diyah”.

 
 

Kemudian dia berkata,

“Ibnu At-Tin berkata: tidak pernah terjadi penyebutan shalat sebelum Jum’at dalam hadits. Barangkali Al-Bukhoriy ingin menetapkannya, diqiyaskan (dianalogikan) kepada dhuhur. Az-Zain Ibnu Al-Munir menguatkannya, bahwa sesungguhnya yang dimaksud sama, antara Jum’at dan dhuhur dalam masalah hukum shalat sunnahnya, sebagaimana kesamaan antara imam dan ma’mum dalam kedudukan hukum. Dan yang demikian itu menuntut, bahwa sesungguhnya shalat sunnah untuk mereka berdua adalah sama. Dan yang tampak, sesungguhnya Al- Bukhoriy memberi isyarat kepada apa yang telah terjadi di dalam kaitan hadits bab tersebut, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Hibban dari jalan Ayyub, dari Nafi’. Lalu ia berkata: Ibnu Umar pernah memperpanjang shalat sebelum Jum’at dan shalat sesudahnya 2 rakaat di rumahnya dan dia menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melakukan hal itu. Imam An-Nawawiy berhujjah dengan hadits ini dalam Al-Kholashoh, atas penetapan shalat sunnah Jum’at sebelumnya”.

 
 

Az-Zaila’iy berkata (dalam Nasbu Ar-Royan Liahaditsi Al-Hidayah, 2/207):

“Asy-Saikh Muhyiddin An-Nawawiy dalam bab ini tidak pernah meyebutkan selain hadits Abdulloh bin Mughoffal, bahwa sesungguhnya Nabi s.a.w..bersabda:

بين كلّ أذانين صلاة

“Antara setiap dua adzan ada shalat”. (H.R. Bukhoriy dan Muslim).

 
 

Dia menyebutnya dalam kitab shalat dan hadits Nafi’ juga menyebutkan, dia berkata: “Ibnu Umar pernah memanjangkan shalat sebelum Jum’at dan sesudahnya shalat 2 rakaat di rumahnya dan dia menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melakukan hal itu”. Dia berkata, “Abu Daud telah meriwayatkannya dengan sanad atas syarat Al-Bukhoriy”. Dan sunnah Jum’at telah disebutkan oleh penyusun kitab tersebut di masalah i’tikaf. Lalu dia berkata, “Shalat sunnah itu sebelum Jum’at 4 rakaat dan sesudahnya 4 rakaat. Dia memberi isyarat kepadanya dalam menjangkau yang fardhu”, kemudian dia berkata: “Andai kata telah qomat dan dia dalam dhuhur atau Jum’at maka dia hendaknya memotong di ujung dua rakaat, dikatakan, “Hendaknya dia menyempurnakannya”.

 
 

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathu Al Bariy 2/426 berkata bahwa hadits paling kuat yang dapat dijadikan pegangan disyariatkannya 2 rakaat sebelum Jum’at, adalah keumuman hadits yang menurut Ibnu Hibban sohih dari hadits Abdulloh bin Az-Zubair secara marfu’ (hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi s.a.w.):

ما من صلاة مفروضة إلّا وبين يدين يديها ركعتان

“Tidak ada shalat fardhu (wajib) kecuali di antara dua sisinya ada dua rakaat shalat”. (HR. Ibnu Hibban dalam Shohihnya, Al-Ihsan, 4/77-78)

 
 

Dan yang sepertinya, hadits Abdulloh bin Mughoffal yang telah lewat dalam waktu shalat maghrib:

بين كلّ أذانين صلاة

“Antara tiap dua adzan ada shalat (sunnah)”. (Lihatlah Al-Ihsan bitartiibi Ibni Hibban, 2/48-49 dan 7/523.)

Ibnu Al-Arobiy Al-Malikiy dalam syarah At-Tirmidziy 2/132  berkata: “Dan adapun shalat sebelumnya, yakni Jum’at, maka sesungguhnya boleh”.

 
 

Abu Abdurrohman Syaroful Haq Al-Azhim Abadiy berkata yang konteksnya sebagai berikut: “Dan hadits itu (yakni hadits Ibnu Umar menunjukkan disyariatkannya shalat sebelum Jum’at. Yang melarangnya tidak berpegangan kecuali dengan hadits yang melarang shalat waktu zawal (yakni sebelum masuk waktu zhuhur). Padahal keumuman hadits itu dikhususkan dengan hari Jum’at. Tidak ada hadits yang menunjukkan larangan shalat sebelum Jum’at secara mutlak. Puncak pembahasan larangan shalat pada waktu zawal itu bukan merupakan arena perbantahan. Walhasil, singkat cerita sesungguhnya shalat sebelum Jum’at secara umum dianjurkan” (Aunu Al-Ma’bud alaa Sunani Abi Daud, 1/438)

 
 

Kemudian dia berkata : “Saya berkata, hadits Ibnu Umar yang keterangannya telah disampaikan oleh An-Nawawiy dalam “Al- Kholashoh”, sohih menurut syarat Al-Bukhoriy”. Al-Iroqiy dalam syarah At-Tirmidziy berkata: “Sanadnya sohih”. Al-Hafizh Ibnu Al- Mulaqqin dalam risalahnya berkata: “Sanadnya sohih secara pasti”. Ibnu Hibban meriwayatkannya dalam sohihnya”. (Aunu Al-Ma’bud alaa Sunani Abi Daud, 1/439)

 
 

Cukuplah beberapa contoh perbuatan sahabat besar Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar dan Ummul mukminin Shofiyah binti Hayyiy r.a. untuk mensyariatkan shalat 2 rakaat sebelum Jum’at dan perbuatan Abu Majlaz (Lahiq bin Hamid) tabiin besar, Thowas bin Kaisan Al-Yamani, salah seorang pembesar (murid-murid Ibnu Abbas r.a.) dan termasuk para pemuka tabi’in serta para tsiqohnya (orang yang dipercaya telah meriwayatkan hadits-hadits sohih seperti Al-Bukhoriy dan Muslim) dan Ibrahim bin Yazid An-Nakho’iy, dia adalah tabi’in yang tsiqoh dan mufti penduduk Kufah pada masanya serta iqror (penetapan) Sufyan Ats-Tsauriy dan Ibnu Al-Mubarok yang keduanya adalah termasuk para pembesar ulama’ yang amilin (yang mengamalkan ilmu). Cukup juga rasanya ungkapan sohih yang diutarakan oleh Al- Hafizh Ats-Tsiqoh Ats-Tsabit (orang yang kredibel dari segi keilmuan) Az-Zain Al-Iroqiy guru Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy dan yang lain-lain di bidang hadits.

 
 

Dalam penutup sanggahan kami, kami sampaikan kepada Nasiruddin Al-Albaniy. Kami katakan kepadanya: “Kamu telah bertentangan dalam masalah ini dengan pimpinanmu Al-Harroniy yang Anda sebut sebagai syaikhul Islam yang telah membolehkan shalat sunnah sebelum Jum’at. Dia berkata: “Barang siapa yang melakukan itu tidak dapat disalahkan” sebagaimana yang dinukil sohibul Inshaf Al-Hanbaliy darinya (Al-Inshoof, 2/402).

 
 

Dari sanggahan yang ringkas ini, telah nyata disyariatkan shalat sunnah sebelum shalat Jum’at dari penuturan ahli ilmu dan pengetahuan. Dan dengan ini kami telah menyalahkan perkataan Al-Albaniy yang mengatakan shalat sunnah qobliyah Jum’at tidak ada dasarnya dalam sunnah yang sohih.

 
 

Dengan ini maka tampaklah keplinplanan dan perbedaan antara Al-Albaniy dan pimpinannya Al-Harroniy Ibnu Taimiyah!

 
 

M. Luqman Firmansyah

“DOWNLOAD PDF”

DIALOG VON EDISON ALOUSCI VS WAHABI

Oleh Albert Freanix ( Sunni madhzab Syafi`i .asal german )

Kejadian ini penulis saksikan sendiri di kota baturaja. Saat mau manghadiri acara yasinan di tempat tetangga. Mei 2010
Malam penulis, Von edison Alouisci,Dua oarang Ustadz juga bebarapa temannya keluar Rumah kost. menuju kerumah salah satu tetangganya yang tengah mengadakan acara yasinan bersama. Ditempat itu memang biasa bergilir antar rumah rumah.membaca yasinan.berdoa, setelah Sholat Isya bersama sama.
Dalam perjalanan kami bertemu dengan seorang wahabi yang sedang asyik baca bacabuku diteras rumahnya..melih at sdr von ini,si wahabi bertanya ” antum mau kemana ??


Von Edison Alouisci menjawab : “mau ke tempat tetangga.di undang sholat berjemaah sekaligus yasinan dan berdoa. Ente tidak kesana ??: ( von bertanya)

Wahabi :” oo.. nggak kok.kalaupun diundang mau apa juga datang.itukan perkara bid`ah.”

Von Edison Alouisci : hehe.. kata siapa ntu bid`ah ?? emangnya bid`ah itu apa ??

Wahabi : antum mampir saja benar. Ayoo mumpung kebetulan saya lagi buka buka kitab neh “

Von edison penulisi,dan seorang Ustadz kemudian masuk kepekarangan.da n duduk bersama si wahabi di teras rumahnya.setala h itu si wahabi berkata : la kan ada riwayat Jabir bin Abdullah.beliau berkata, Rasulullah Saw bersabda: sebaik-baik ucapan adalah Kitab Allah, sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Inikan dah tegas !”

Von Edison Alouisci : hehehe ente neh..mangnya semudah itu memahami bid`ah?? ente jgn memahaminya menurut analisa ente sendiri.
( kami semua cengir cengir saja sambil menyimak )

Wahabi : siapa bilang nurut akalku sendiri.ulamaku juga menegaskan kok.
Von Edison Alouisci : mangnya siapa ulama yang ente idolakan ??

Wahabi : Syeikh Utsmain. Beliau ulama hebat dan menjadi kebangganku bahkan semua pengikut wahhabiyah.
Von Edison Alouisci : hmm emang apa katanya soal bid`ah ??

Wahabi : ” Tahu nggak antum,ulama kami telah men jelaskan dalam kitab “al-ibda’ fi kamalis syar’i wa khotoril ibtida’ halaman 13 ( sambil memperlihatkan kitabnya )” :”qouluhu ( kullu bid’atin dholalatun ) kulliyatun, aammatun, syaamilatun, musyawwarotun bi aqwaa adawaatis syumuuli wal umumi ( kullu ), afaba’da hadzihil kulliyati yasihhu an nuqossimal bid’ata ila aqsaami tsalasatin, aw ila aqsami khomsatin? ABADAN LA YASIHHU” ( hal 13 )
Artinya: “Hadits (smua bid’ah adalah sesat) bersifat general, umum, menyeluruh, di pagaridengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitukata-kata “kullu ( seluruh )”, apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita di benarkan membagi bid’ah menjadi 3 bagian/menjadi 5 bagian? SELAMANYA TIDAK AKAN BENAR”
Nah Antum mestinya paham jika Pernyataan Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin maksudnya a hadits “smua bid’ah adalah sesat” tanpa terkecuali, hingga tidak ada satupun bid’ah hasanah apalagi bid’ah mandubah ( yang mendatangkan pahala bagi pelakunya ), alasan Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin ini menolak pembagian bid’ah adalah kosakata “kullu”.disini jelas,bidah itu sesat dan sesat itu neraka !!

Von Edison Alouisci : itukan pendapat ulama ente yang kata ente paling hebat.tapi buktinya ulama ente nggak karuan karuan pemahamannya soal ini .

Wahabi : Antum Jangan suka memfitnah.antum harus buktikan jika Syeikh Utmain memang tak karuan karuan.kitab nya dah jelas kok..

Von Edison Alouisci : hehehe..ente jangan sepotong sepotong memenggal penjelasan isikitabnya.coba ente lihat di halaman 18-19 di kitab yang ente maksud . coba perhatikan bukankah katanya begini :
“wa minal qowa’idil muqorroroti annal wasa’ila laha ahkamul maqosidi fa wasaa’ilul masyru’i masyruu’atun wa wasaa’ilu ghoiril masyru’i ghoiru masyruu’atin bal wasaa’ilul muharromi haroomun, fal madarisu wa tasniful ilmi wa ta’liful kutubi wa in kaana bid’atan lam yuujad fii ahdin nabi saw, ala hadzal wajhi illa annahu laysa maqsodan bal huwa washilatun wal wasaa’ilu laha ahkamul maqoosid, wa lihadza lau banaa syakhsun madrosatan lita’limil ilmin muharromin kaana al binaa’u harooman wa lau banaa madrosatan lita’limi ilmi syar’iyyin kaana al binaa’u masyruu’an”

Nah Dalam qoul ini terbukti si utsmain malah membatalkan omongannya l sebelumnya yang di halaman 13 yang ente sebutkan tadi. Iya toh ?? di halaman ini terbukti si ustmain malah intinya menjelasakan semua bid’ah itu semua sesat tanpa terkecuali dan sesat tempatnya di neraka dan selamanya tidak akan benar membagi bid’ah menjadi 3 apalagi menjadi 5.

Tapi kemudian Syaikh Muhammad bin Solih Al-Utsaimin menyatakan bahwa membangun madrosah, menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun hal INI ADALAH BID’AH YANG BELUM TENTU SESAT, BELUM TENTU KE NERAKA, Bahkan Syaikh ente ini dalam soal ini membagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan hukum tujuannya. Hehe.. kan lucu toh kok di kitab yang sama syaikhnya ente malah saling berlawanan. Apa salah saya mengkatakan si utsmain tak karuan karuan. Apa saya memfitah sedangkan itu kalimat syeikh ente sendiri danmalah tidak kitab yang sama pula.coba baca berulang ulang deh..hehehehe..

Wahabi : (Diam )

Von Edison Alouisci : Mau bukti lagi ?? mari kita sama sama buka kitab syarh aqidah al wasithiyyah hal 336 . Coba perhatikan..bukankah Syeikh menyatakan kata “kullu” bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian dan pembatasan . Ente lihat kan ia menulis :

“anna mitsla hadza at ta’bir ( kullu syai’in ) aammun qod yuroodu bihil khossu, mitslu qoulihi ta’ala an malikati saba’in: ( wa ‘uutiyatmin kulli syai’in ), wa qod khoroja syai’un katsiirun lam yudkhol fii mulkiha minhu syai’un mitslu mulki sulaiman”

Artinya: contoh seperti redaksi “kullu syai’in ( segala sesuatu )” adalah kalimat umum yang terkadang di maksudkan pada makna yang terbatas, seperti firman Allah tentang Ratu Saba’ : “ia di karuniai segala sesuatu” ( surat an-naml ayat 23 ) padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi SulaimanAs”

Hehehe bukankah dalam qoul yang ini ternyata Syaikh nya ente mengakui bahwa tidak semua kata “kullu” dalam teks Al-Qur’an/ Hadits bermakna general ( am ) tetapi ada yang bermakna terbatas ( khosh ). Ayoo.. gimana ??

Wahabi : (Diam )

Von Edison Alouisci : sekarang coba kita lihat lagi kitab Syarh aqidah al-wasithiyyah sohifa.coba ambil.

 

Wahabi ini kemudian mengambil kitab yang di maksud.dia berkata ” halaman berapa??”

 

Von Edison Alouisc : Coba ente Buka Halaman 639-640.bacalah

 

Wahabi ini kemudian membaca :

“al-aslu fii umuurid dunya al hillu fama ubtudi’a minha fahuwa halaalun, illa an yadullu ad daliilu ala tahriimihi, lakin umuuruddiinil aslu fiihal hadzoru, fama ubtudi’a minhafahuwa haroomun bid’atun, illa bi daliilin minal kitabi was sunnati ala masyru’ iyyatihi”

Von Edison Alouisci : ente Paham Maksudnya??

Wahabi : mangnya apa nurut ente maksudnya?? (dia balik tanya )

Von Edison Alouisci : Maksudnya begini (von membacanya ) :

“hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal, jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil menunjukkan keharamannya, tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama adalah dilarang, jadi berbuat bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid’ah, kecuali ada dalil dari Kitab dan Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya”

Nah ente lihat sendiri kan jika si utsmain justru membatalkan omongannya sebelumnya bahwa qoul yang pertama semuabid’ah secara keseluruhan adalah sesat dan sesat itu tempatnya di neraka.

Lanjut Von kemudian : ” Lihat syeikh ente terbukti membatalkannya dengan qoulnya yang menyatakan bahwa “bid’ah dalam urusan dunia halal semua kecuali ada dalil yang melarangnya, dan bid’ah dalam urusan agama adalah haram sebab bid’ah semuanya kecuali ada dalil yang membenarkannya, dengan klasifikasi bid’ah menjadi Dua. Gimana ?? ente sekarang masih mau berpegang dengan dalil Utsmain yang tidak karuan karuan itu ??

Wahabi : (diam .sambil garuk garuk kepalanya.wahab i ini tidak bisa membantah.muka manyun plus malu).

Von Edison Alouisci : hehe.. iya udah deh.. met baca baca ya.. saya mo pamit dulu deh..Assalamu`a laikum !! Ayoo teman teman,ustadz kita berangkat.

Kami pun beranjak pergi .penulis bilang ” heheheh…ni lum sang ustadz turun tangan ngeladeni dia ”

ustad cengar cengir sambil bilang ” ngeladenidia cukup kalian aje deh hehehe..

kamipun ketawa rame rame..

 

Sumber : 1 Jt Menolak Wahabi

KALAH DEBAT, WAHABI KABUR